Minggu, 22 April 2018

Teladan dalam Kesabaran

 Beliau bersabar dengan musibah kematian anak tercintanya. Hal ini berkebalikan dari umumnya keadaan wanita tatkala sedang dilanda ujian.
Sosok yang akan dikisahkan dalam tulisan ini adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallaahu anhum. Beliau bernama Rumaisha’ binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah. Beliau dikenal dengan nama kunyahnya yakni Ummu Sulaim.
Ummu Sulaim merupakan salah satu shahabiyat yang mulia. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Anshar. Sejarah pernikahan beliau dengan Abu Thalhah telah masyhur dan telah dicatat oleh tinta sejarah sebagai sejarah mahar paling mulia. Karena mahar pernikahan beliau adalah dengan masuk Islamnya Abu Thalhah.
Kali ini, akan kami sampaikan kisah lain yang tak kalah menakjubkan dari Ummu Sulaim. Dari cerita ini, kita akan belajar bagaimana mestinya sikap seorang muslimah tatkala menghadapi musibah yang menimpanya. Berikut ini kisahnya.
Dari pernikahan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah, Allah karuniakan seorang anak laki-laki yang menjadi penyejuk mata bagi keduanya. Anak tersebut diberi nama Abu Umair. Suatu ketika, Abu Umair terserang penyakit sehingga membuat kedua orang tuanya sibuk merawatnya. Karena rasa sayang Abu Thalhah yang besar kepada anaknya, tiap kali ia kembali dari pasar, hal pertama yang ia lakukan adalah menanyakan kesehatan anaknya. Beliau belum merasa tenang sebelum mengecek kondisi anaknya.
Pada suatu hari, Allah mewafatkan Abu Umair. Di saat yang bersamaan, Abu Thalhah sedang berada di masjid sehingga tidak mengetahui kabar kematian anaknya. Sang ibu, Ummu Sulaim, menerima takdir tersebut dengan jiwa yang ridha dan bersabar. Beliau membaringkan anaknya di ranjang sembari mengulang-ulang kalimat istirja (Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun). Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan ini kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang bercerita kepadanya.”
Tatkala Abu Thalhah kembali ke rumah, Ummu Sulaim mengusap air matanya. Kemudian beliau bersemangat menyambut suaminya dan menampakkan bahwa tidak terjadi apa-apa di rumah. Ketika beliau ditanya tentang keadaan Abu Umair, maka beliau menjawab, “Dia dalam keadaan tenang.”
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah kembali sehat sehingga beliau bahagia dengan kabar tersebut. Beliau tidak mau menengok langsung anaknya karena khawatir akan mengganggu ketenangannya.
Ummu Sulaim menyiapkan jamuan makan malam yang lezat untuk suaminya. Ketika suaminya sedang makan dengan lahap, Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya. Beliau mengenakan pakaian yang paling indah dan memakai wangi-wangian. Malam itu keduanya berbuat sebagaimana layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan puas dengan pelayanannya serta merasa tenang terhadap keadaan anaknya, maka beliau memuji Allah dan membiarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Di akhir malam, beliau berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu seandainya ada suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga. Kemudian, suatu ketika mereka mengambil titipan tersebut. Maka bolehkah bagi keluarga tersebut untuk menolak mengembalikan barang titipan?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.” Kemudian Ummu Sulaim bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika keluarga tersebut merasa keberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah memanfaatkannya?” Abu Thalhah menyahut, “Berarti mereka tidak adil.” Lalu Ummu Sulaim menyampaikan kabar kematian ankanya, “Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya. Maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya anakmu.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarah. Beliau berkata dengan marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kau kabari tentang anakku?”
Beliau mengulang-ulang pertanyaan tersebut hingga akhirnya beliau mengucapkan kalimat istirja lalu bertahmid kepada Allah. Sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinya, Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menceritakan tentang kejadian yang telah berlalu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda,
بارك الله لكما في ليلتكما
“Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Mulai saat itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak. Tatkala beliau melahirkan, beliau mengutus Anas bin Malik untuk membawanya menuju Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian Anas berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sulaim telah melahirkan tadi malam.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut. Anas berkata, “Berikanlah nama baginya, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Namanya ‘Abdullah.”
Demikianlah potret keteladanan dari Ummu Sulaim. Beliau bersabar dengan musibah kematian anak tercintanya. Hal ini berkebalikan dari umumnya keadaan wanita tatkala sedang dilanda ujian. Mayoritas wanita ketika kehilangan orang-orang yang dicintainya, mereka meratap dan menangis dengan sejadi-jadinya. Padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda bahwasanya meratapi mayit merupakan salah satu perkara Jahiliyah yang masih melekat pada umat beliau. (Diriwayatkan oleh Muslim no. 934)
Semoga Allah senantiasa merahmati Ummu Sulaim dan memberi kita taufiq untuk mencontoh beliau dalam kesabaran menerima ketentuan Allah.

Diketik ulang dari Mereka Adalah Para Shahabiyat (terjemah), karya Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi, dan Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, penerbit At-Tibyan, Solo, 2005, hal. 177-186.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar